Jumat, 22 Januari 2010

TAKE ME / HIM OUT INDONESIA DAN URGENSI PERNIKAHAN BAGI PEREMPUAN

Salah satu reality show yang sedang naik daun dan sedang menjadi banyak perbincangan di kalangan masyarakat pemirsa televisi adalah Take Me/Him Out Indonesia yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indosiar. Dalam press releasenya yang diterbitkan secra online di http://www.takemeoutindonesia.com/press.php?tid=9, disebutkan bahwa Take Me Out Indonesia hadir dengan nuansa baru reality yang fresh, benar-benar menghibur  dan mencoba untuk menjadi program yang se-natural mungkin. Pada episode perdana Take Me Out Indonesia berhasil menembus rating 4.2 dengan share 22. Dan untuk minggu kedua, Take Me Out Indonesia menduduki peringkat ketujuh dari keseluruhan program (top 100) dan bersaing pada posisi dua setelah Termehek-mehek untuk kategori program reality show. Rating-nya adalah 5,2 dengan share 27, head to head dan mengalahkan The master season 3 pada jam itu.
Sebagai program reality show yang fresh, Take Me Out Indonesia menawarkan program kencan yang natural, dengan kreatif yang lucu, mengharukan, dan membuat penasaran. Meski para kontestan, baik wanita maupun pria yang ikut di dalamnya melalui proses audisi yang cukup ketat, namun identitas dan karakter yang mereka miliki adalah seperti mereka apa adanya.
Acara yang mulai ditayangkan sejak 19 Juni 2009 ini langsung mendapat perhatian penonton TV di Indonesia. Acara yang ditayangkan di Indosiar ini merupakan lisensi dari FremantleMedia dan acara perjodohan atau dating show dengan kombinasi format show dan reality show pertama di Asia. Take Me Out adalah sebuah program televisi yang lisensinya dipegang FremantleMedia. Di Indonesia Take Me Out tayang di Indosiar. Ini merupakan penayangan pertama kalinya di Asia. Di sini para lajang usia 20 – 40 akan menemukan pasangan hidupnya. Program Take Me Out sendiri hadir di Indosiar selama satu jam, setiap Jumat malam dipandu oleh Host yang dijuluki The Heartrob, Choky Sitohang.
Dari hasil survei terakhir AGB Nielsen terhadap penonton TV usia 5 tahun ke atas di 10 kota besar Indonesia, Take Me/Him Out Indonesia menempati posisi teratas program acara TV yang paling banyak ditonton selama bulan September dengan rating 7,9%, diikuti dengan Termehek-Mehek TransTV rating 5,9% dan Para Pencari Tuhan 3 Bedah SCTV dengan rating 5,2%. (http://www.kpi.go.id/index.php?etats=detail&nid=1405)
Dalam program pencarian jodoh ini, penulis menemukan beberapa teks yang terkesan mendiskreditkan perempuan , baik yang terlibat dalam acara ini, maupun perempuan secara luas. Satu yang paling menonjol adalah penggunaan judul yang menempatkan perempuan sebagai obyek. Lihat saja kalimat Take me out untuk acara yang menampilkan 30 perempuan yang mencari pria untuk dijadikan pasangan hidup.
Kemudian, Indosiar mengeluarkan format acara serupa yang konsepnya merupakan kebalikan dari konsep Take me out, yaitu kini sang wanita yang diharuskan unjuk gigi dihadapan 30 pria yang berdiri di belakang podium, lagi-lagi perempuan yang dijadikan obyek. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan judul yang lagi-lagi mengesankan perempuan sebagai pihak yang “membutuhkan” yaitu Take Him Out.
Kedua teks ini jelas ditujukan kepada perempuan. Perempuan ditempatkan sebagai subordinan, sementara Laki-laki dikonstruksikan sebagai pihak yang merasa “dibutuhkan”dan bersifat dominan.
Penindasan perempuan dalam program ini terlihat jelas ketika perempuan diskreditkan sebagai pihak yang memang mebutuhkan seorang laki-lakidalam mendampingi hidupnya. Ketika sistem patriarki begitu tertanam dalam suatu masyarakat, maka perempuan akan selalu menjadi korban. Perempuan dalam program tersebut, meskipun tidak diharuskan atau diwajibkan dalam sebuah aturan tertulis, namun ketika harus bersaing dengan 30 perempuan dalm waktu yang sam, maka dia dituntut untuk tampil maksimal. Maksimal dalam artian harus tampil secantik mungkin hanya untuk menarik lawan jenis untuk memilinhya menjadi pasangan.
Sehingga paham feminisme radikal libertarian terasa lebih tepat untuk dijadikan landasan teori dalam pembahasan tulisan ini. Aliran feminisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Perempuan sebenarnya diberikan kebeasan untuk memilih apakah dia memilih untuk menikah ataupun tidak. Namun banyak dari mereka yang akhirnya “menyerah” tuntutan masyarakat. Tidak dipungkiri, ketika seorang perempuan memilih untuk melajang, dia akan mendapat stereotip yang buruk di mata masyarakat. Menurut pandangan feminis radikal libertarian, lingkungan masyarakat yang mendukung ideologi patriarkal telah menempatkan perempuan sebagai subordiat, serta terpisah dari ranah publik. Posisi perempuan, apalagi jika telah diperistri oleh seorang laki-laki adalah di luar dunia kerja, poltik dan kebudayaan. Sebaliknya, mereka (perempuan bersuami) ditempatkan di ranah privat. Di dalam rumah tangga, keluarga dan berhubungan seorang laki-laki saja.
Konsekuensi lain dari seorang perempuan yang memilih menikah, dan menjadi seorang istri ialah, bahwa dia harus siap untuk memiliki anak dan menjadi seorang ibu. Sistem patriarkal mengkonstruksikan anggapan bahwa menjadi seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Seorang wanita karier dengan begitu mudahnya mau untuk menjadi seorang ibu jika ia sudah berkeluarga. Jika sudah deminkian, maka kehidupannya hanya akan berkutat di ranah domestik. Mengurusi keluarga, melayani suami dan merawat serta memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
Dalam masyarakat manapun, posisi seorang “ibu” sangatlah penting. Bagaimana tidak, segala urusan privat berada dalam kewenangannya. Namun tetap posisi seorang ibu dalam masyarakat patriarkal hanyalah berada di bawah suami yang menjadi pihak yang dominan. Bahkan tidak jarang istri dan ibu dari ank-anaknya ini begitu elanya melakukan pekerjaan dan melakukan segala sesuatu yang bukan dilakuakan untuknya, namun untuk orang lain tanpa adanya imbalan yang memadai.
Tidak jarang, seorang perempuan menjadi kehilangan identitas dirinya ketika ia sudah sampai pada status sebagai seorang ibu. Waktunya selama seharian penuh selalu diperuntukkan bagi orang lain. Entah itu anak-anaknya, suami, mertua, bahkan kakak ipar dan kerabat yang lain.ann Oakley, seorang pakar perempuan mengatakan bahwa kunci untuk mengerti mengapa perempuan begitu tidak bahagia dan depresisetelah memasuki masa kehidupan berkeluarga adalah karena adannya perasaan kehilangan secara social dan psikologis. Belum lagi jika menjadi ibu juga berarti mempunyai konsekuensi turunan berupa keharusan kehilangan pekerjaan, status dan kebebasan serta privasi.
Dalam buku “Feminisme : Untuk Pemula” karangan Marisa Rueda disebutkan bahwa menjadi ibu dalam masyarakat kita begitu dipuji, namun dalam kehidupan nyata, mereka mengalami nasib yang buruk akibat kelebihan beban pekerjaan dan kurang tidur serta tidak mendapatkan bantuan dari masyarakat.
Seorang novelis dan feminis asal Inggris Mona Caird pernah meyebut bahwa “ menjadi ibu dalam kondidi social saat ini merupakan tanda sekaligus cap, merupakan alat sekaligus metode untuk megikat perempuan. Mejdai ibu merupakan rantai yang dikenakan pada darah daging perempuan; hal ini akan mengacaukan rasa kecintaan dan nalurinya”
Dalam era yang segala sesuatu dinilai dengan materi, pekerjaan seorang ibu justru tidak diberikan nilai nominal yang sepadan. Berbeda dengan laki-laki yang menjadi seorang suami, dimana mereka melakukan segala urusan public bagi keluarganya. Para lelaki diberikan upah dan insentif sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Dan hal ini dengan secara sadar dibiarkan oleh para perempuan dan istri di masyarakat kita. Malahan, mereka akan merasa bahwa jika hal itu terjadi (perempuan digaji untuk menjadi istri dan ibu) maka ia merasa telah menjadi istri dan ibu yang tidak baik.
Padahal, sesungguhnya, perempuan yang menjadi seorang ibu dan membesarkan anak-anaknya, dan secara ekonomis bergantung kepada laki-laki, menjadi merasa bukanlah manusia yang selayaknya. Bagaimana tidak, meski laki-laki bias saja mengklaim bahwa mereka berperan dalam pengasuhan anak, namun setidaknya 90 % dari semua pengauhan anak masih dibebankan di pundak perempuan baik yang bekerja penuh maupun paruh-waku maupun oleh para pengasuh anak yang harus mengurusi problematika orang lain.
Dalam sebuah keluarga, system patriarchal memisahkan peran-peran domestic dan public berdasarkan jenis kelamin dan jender. Bahkan dalam peribahasa, dikatakan bahwa seorang istri itu hanya berperan di tiga area. Ketiganya adalah dapur, sumur, dan kasur. Kesemuanya adalah ranah privat. Hal itulah yang menyebabkan JS Mill meyakini bahwa “sifat-sifat” laki-laki dan peempuan seperti yang kita lihat sekarang merupakan sesuatu yang dikonstruksikan secara artificial sepenuhnya. Atau dengan kata lain perbedaan “sifat-sifat” antar jenis kelamin ada karena adanya perbedaan yang dibangun, diajarkan dan disebut sebagai “pekerjaan/area/milik” laki-laki sebagai seorang suami ayah, dan “pekerjaan/ area lain menjadi milik perempuan sebagai istri dan ibu.
Feminis radikal kultural yakin bahwa sumber utama kekuatan perempuan ada pada kekuatan mereka untuk menghadirkan kehidupan baru. Bagi feminis radikal kultural, kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan semua institusi patriakal termasuk institusi keluarga. Hal ini berbeda dengan aliran Radikal Libertarian.
Jika Feminis Radikal Kultural menolak pernikahan karena adanya konsep motherhood yang mensubordinasi perempuan, maka Femini Radikal Libertarian justru mendukung adanya institusi keluarga dan pernikahan bagi seorang perempuan. Argument ini berkaitan erat dengan kekhususan yang dimiliki oleh seorang perempuan berupa organ reproduksi..
Perempuan adalah mahkluk yang paling penting dan memegang kendali kehidupan dengan adanya alat reproduksi di dalam tubuhnya. Keunikan fisik tubuh perempuan yang memiliki payudara yang besar (karena hormon progesteron), menstruasi dan rahim sebagai alat reproduksi, yang tidak dimiliki oleh laki-laki, justru merupakan ”kekuatan” bagi perempuan. “Kekuatan” inilah yang kemudian disinyalir menjadi dasar opresi laki-laki terhadap perempuan. laki-laki ingin ”merampas kekuatan” perempuan, dengan menciptakan kehidupan yang tidak harmonis yang dapat dimulai dari kehidupan keluarga dan mayarakat.
Dengan “kekuatan” yang dimilikinya, perempuan memiliki posisi tawar yang cukup kuat. Dengan segala kelebihan nya, seharusnya perempuan memiliki sifat androgini, sebagaimana laki-laki. Perempuan harus mampu memilih sendiri dan melakukan seleksi terhadap para lelaki sehingga hanya yang terbaiklah yang layak untuk menjadi pasangannya kelak. Institusi perkawinan adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh perempuan sebagai sarana untuk mengembalikan kehidupan dan kekuatan perempuan yang sesungguhnya. Penentuan kehamilan, jenis kelamin anak, masa depan pengasuhan, model pengasuhan, merupakan point penting untuk dijadikan alat bargainning sebelum menikah.
Argument feminis libertarian yang mendukung pernikahan (terutama pada usia tertentu yang dikatakan ideal) adalah menyangkut kesehatan reproduksi tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa terdapatnya organ reproduksi pada diri perempuan dapat menentukan kembai posisi perempuan yang sempat teropresi oleh laki-laki.
Ketika membicarakan tentang sebuah pernikahan maka kan muncul pertanyaan tentang berapa usia ideal bagi seseorang, terutama bagi permpuan untuk menikah. Usia ideal untuk menikah adalah usia dimana seseorang telah dianggap matang, baik secara emosi maupun sosial. Bila ditinjau dari segi fisik, seorang telah dianggap mampu untuk menikah dan berketurunan antara usia 17-20 tahun.
Pada perempuan, proses pematangan organ-organ reproduksi dimulai ketika perempuan tersebut sudah mendapatkan haid pertamanya atau dikenal juga dengan istilah menarche dan akan mencapai kondisi yang optimal ketika siklus haidnya sudah "relatif" stabil (sekitar 25-32 hari atau rata-rata 28 hari). Organ-organ reproduksi yang lain (payudara, rambut pubis, dan lain-lain) juga akan berkembang yang secara fisik dapat dilihat secara kasat mata. Tidak adanya keluhan yang berlebihan ketika menjelang haid, pada saat haid, atau sesudah haid. Dan lain-lain..
Reproduksi adalah keunikan khas yang dimiliki perempuan. Tidak seperti laki-laki, perempuan mengalami proses reproduksi meliputi kehamilan, kelahiran dan menyusui. Namun kemudian muncul pertanyaan mengenai berapa usia ideal untuk melahirkan anak pertama dan usia berapa ldealnya seorang perempuan dikatakan aman untuk memiliki bayi. Secara umum, perempuan secara medis dikatakan aman jika mengalami kehamilan pertama pada usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.. Sekalipun seorang gadis telah mampu hamil setelah mendapatkan haid yang pertama. Kehamilan yang terjadi di luar usia tersebut, dapat dikategorikan sebagai kehamilan yang beresiko tinggi.
Kehamilan pada usia lanjut memiliki banyak risiko medis yang dapat terjadi baik pada ibu maupun pada bayinya. Beberapa risiko yang dapat terjadi pada kehamilan usia di atas 40 tahun, secara teoretis dapat ditanggulangi (misalnya hipertensi, diabetes, kelainan letak, perdarahan), namun risiko untuk mendapat anak yang cacat meningkat sekitar 4 kali lipat pada usia 40 tahun dan sampai saat ini belum dapat dilakukan intervensi.
Dukutip dari Mediasehat.com
Ada beberapa masalah yang sering ditemukan dokter pada wanita hamil dengan usia di atas 35 tahun, seperti diabetes gestational (diabetes yang muncul pada saat kehamilan), tekanan darah tinggi dan juga masalah-masalah pada janin. Wanita hamil dengan usia yang lebih tua juga akan lebih sering mengalami masalah pada kandung kemih dibandingkan wanita hamil dengan usia yang lebih muda. Resiko-resiko lainnya adalah resiko keguguran lebih besar, lebih banyak yang melahirkan melalui operasi Caesar karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal, dan juga memiliki resiko lebih tinggi melahirkan bayi cacat.
Saat berusia akhir 30-an, wanita cenderung mengalami kondisi-kondisi medis berkaitan dengan sistem reproduksi, seperti fibroid uterine dan tumor otot. Fibroid uterine adalah pertumbuhan sel otot atau jaringan lain di dinding uterus, membentuk tumor. Fibroid uterine dan tumor otot bisa menimbulkan rasa nyeri atau perdarahan vagina saat kehamilan berkembang. Jika wanita tersebut hamil di atas usia 40 tahun, tingkat keparahannya bahkan lebih berat lagi. Problem-problem tadi bisa bertambah dengan adanya hemoroid (wasir), inkontinensi (kesulitan menahan keluarnya urin), varises, problem-problem pembuluh darah, nyeri otot, nyeri punggung, dan juga proses melahirkan yang lebih sulit dan lebih panjang.
Selain resiko melahirkan bayi dengan Sindroma Down, resiko keguguran dan melahirkan dengan operasi Caesar, wanita hamil berusia di atas 35 tahunan juga memiliki resiko bayi meninggal saat dalam rahim atau saat proses melahirkan. Walaupun resiko ini ada di setiap usia kehamilan, namun pada wanita dengan usia 35 tahun ke atas, resiko ini lebih besar, yaitu 7 dari 1000 kehamilan.

Setelah memasuki usia 40 ke atas, Perempuan akan mulai mengalami fase yang disebut sebagai Menopause. Menopause adalah berhentinya secara fisiologis siklus menstruasi yang berkaitan dengan tingkat lanjut usia perempuan. Seorang wanita yang mengalami menopause alamiah sama sekali tidak dapat mengetahui apakah saat menstruasi tertentu benar-benar merupakan menstruasinya yang terakhir sampai satu tahun berlalu
Pada wanita, masa perubahan ini ditandai dengan berhentinya rutinitas bulanan dan hilangnya kemampuan untuk berketurunan. Sementara pada suami, tidak ditemukan ada yang berhenti secara mendadak dan tidak ada gejala-gejala fatal, baik secara fisik maupun emosi. Biasanya, penurunan aktifitas seks terjadi sebagai akibat dari penurunan kemampuan fisik dan emosinya, yang sebagian merupakan akibat dan faktor-faktor sosial dan psikologis.
Argument pendukung dari feminis radikal libertarian adalah bahwa ketika system patriarkal begitu solidnya bercokol di dalam masyarakat kita, maka yang harus kita lakukan bukanlah melakukan perlawanan secara ekstrim dan selau melakukan penolakan. Namun, feminis aliran radikal libertarian merasa bahwa system yang suudah ada bukannya harus dihilangkan atau ditambahai, melainkan haruslah dikoreksi.
Pada bagian inilah, peran Undang-Undang Perkawinan sangat penting. Apa yang dibutuhkan oleh perempuan yang akan da telah berkeluarga adalah dilegalisasinya Undang-Undang yang lebih banyak berpihak pada kesetraaan hak, dan mengaeliminasi subordinasi perempuan dalam masyarakat patriarkal ini.
Selama ini, feminis dari berbagai aliran selalu menggugat apa yang menjadi isi dari Undang-Undang Perkawinan di Negara kita. Hal ini tidak lain adalah karena adanya ketidakadilan jender dalam hokum sipil di Negara kita. Sekalipun sudah 28 tahun meratifikasi CEDAW (Convention Elimination Discrimination Againts Women), kenyataannya banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang belum sejalan dengan kesepakatan CEDAW. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang Perkawinan. Di dalamnya masih banyak pasal yang diskriminatif terhadap perempuan. Pun, Indonesia disorot karena cukup banyak hak perempuan yang belum dilindungi dan diakomodasi dalam undang-undang.
dari uraian yang dijelaskan di atas, terdapat sebuah konklusi utama yang bisa kita tarik, yaitu bahwa Menikah bagi sebagian perempuan adalah hal yang selalu dinantikan dan diimpikan. Tidak jarang, perempuan seolah telah merancang sendiri apa yang akan dilakukan atau paling tidak seperti apa konsep pernikahan yang akan dipakinya nanti kelak ketika telah menemukan seseorang yang cocok dengannya. Namun bukan tidak sedikit perempuan yang harus sedikit bersabar untuk menemukan pasangan terbaiknya. Hingga pada masa usia tertentu, masyarakat mulai melancarkan serangan diskriminatifnya kepada perempuan itu. System patriarkal yang tertanam di masyarakat melakukan opresi dan subordinasi terhadap perempuan yang belum menikah.
Take Me/Him Out Indonesia sebagai media untuk menemukan pasangan hidup diterbitkan oleh sebuah rumah produksi yang mengetahui potensi pasar di bidang ini. Biro jodoh. Program televisi dengan Tagline “tetaplah berusaha tenukan cinta sejatimu ini” menarik perhatian masyarakat pemirsa televise Indonesia. Terlepas dari segala kontroversi dan perdebatan yang menyelimutinya, sebenarnya ada dua hal yang patut digarisbawahi dari analisis ini. Bahwa pernikahan adalah sebuah hal yang sacral dimana pelakunya bersedia untuk membentuk sebuah institusi keluarga di tengah-tengah masyarakat. Pernikahan juga bukanlah hal yang menjadi keharusan bagi perempuan. Feminis radikal cultural mensyaratkan untuk meniadakan institusi atau lembaga perkawinan dan keluarga untuk menghilangkan system patriarki yang sudah demikian mengakar.
Di lain pihak, feminis radikal libertarian memberikan keterbukaan bagi pengikutnya untuk dapat memilih untuk menikah atau tidak. Mereka beralasan bahwa yang harus dibenahi dari institusi keluarga dan perkawinan adalah Undang-Undang Perkawinan (KUHPerdata dan UU No1 tahun 1974) yang masih menerapkan standar ganda dan ketidak setaraan jender di muka hukum sipil, bukannya justru tidak mengakui lembaga perkawinan yang sacral dan institusi keluarga yang ada dalam masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Buku
Arivia, Gadis.2006.Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta. Kompas Media Nusantara
Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Jakarta . Jalasutra.
Watkins, Susan Alice; Marissa Rueda dan Marta Rodriguez. 2007. Feminisme: Untuk Pemula. Yogyakarta. Resist Book.

Internet
Diakses Pada 11 November 2009 Pkl. 18.00 wib
TELEVISI WASTA DI ERA REFORMASI TERUTAMA MENJELANG 2010 http://ryannk.multiply.com/journal/item/6/TELEVISI_SWASTA_DI_ERA_REFORMASI_TERUTAMA_MENJELANG_2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_di_Indonesia
http://www.indosiar.com/program/resensi/69219/reality-show-yang-improved-di-layar-kaca
http://www.kapanlagi.com/h/0000208495.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Acara_realitas
http://www.takemeoutindonesia.com/press.php?tid=9
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
ALIRAN-ALIRAN FEMINISME http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/2736
Wiwik Sushartami. Perempuan dan Media Massa http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender6.htm
`http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/gender/gender2.htm
http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/index.php/read/2009/08/29/2053/12/10-Alasan-Terburuk-untuk-Menikah
http://luvjoy.blogdetik.com/2009/03/24/kalau-perempuan-belum-mau-berkomitmen/
Diakses Pada 17 Januari 2010 pkl. 20.00 wib
http://bibilung.wordpress.com/2008/07/14/sudah-menopause-bisa-hamil/
http://www.forumbebas.com/printthread.php?tid=29604
http://74.125.153.132/search?q=cache:fkfg4XKEbDwJ:ariyana.wordpress.com/2007/06/04/teori-feminis-radikal/+libertarian+menikah+feminis&cd=4&hl=en&ct=clnk
http://www.infoibu.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=91
http://mediasehat.com/artikel.php?kl=4&no=97
Dewi Setyarini. Banyak Pasal yang Diskriminatif dalam UU Perkawinan http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/banyak_pasal_yang_diskriminatif_dalam_uu_perkawinan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar